Fashion

Asa Hilang Mimpi yang Terbuang 16

Setelah sedikit terobati rasa penasarannya Amin pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju keasrama, sesampainya diasrama amin meletakkan semua perlengkapan sekolahnya lalu menuju ruang makan untuk makan siang yang memeng sudah tersedia, sambil berbincang-binmcang ringan dengan seorang santri yang duduk disampingny Amin dengan lahap memakan nasi dihadapannya hingga tidak tersisa.

Setelah selesai makan Amin berbincang sejenak dengan teman-temannya dikamar karena teman setiap kamar dihuni enam orang berikut Amin sehingga tak jarang menjelang tidur mereka berbincang-bincang yang selelu diselingi canda dan tawa untuk sekedar menghilangkan rasa jenuh dan penat oleh padatnya aktivitas pesantren yang semua serba terjadwal. “.Saya tidur siang duluan ya…” ujar Amin kepada beberapa temannya sambil menaiki ranjangnya kemudian merebahkan tubuhnya yang tidak terlalu besar bahkan lebih tepat kalau dibilang setengah kurus.

            Setealah mkan malam Amin menuju perpustakaan yang terletak dilantai dua masjid, bolak-balik Amin mengamati judul buku yang begitu banyak berbaris dirak buku yang tertata rapi memenuhi rak buku yang begitu besar, Amin jadi teringat akan nasehat gurunya ustadz Husin Bin Abu Bakar Al-habsyi ketika memberikan wejangan  ……”..bila kalian rajin mendatangi perpustakaan dan membaca buku-buku yang ada ini semua ,..sama artinya kalian berguru kepada ratusan ulama besar dari seluruh penjuru dunia….” Jelasnya pada semua santri yang khusuk mendengarkan nasehat orang yang begitu berwibawa dan penuh dengan kharisma itu.

Amin pun mengambil buku yang berjudul  ” Fiqih Ja’fari ” Karya : Muhammad jawad Mughniyah, dengan kusuk amin membaca buku tersebut dan dia sedikit kaget ketika Ia membaca  diakhir kata pengantarnya yang berbunyi: …Buku yang dihadapan anda ini  bukan sebuah buku risalah amaliah. Pengarangnya pun, Ayatullah Syekh Muhammad jawad Mughniyah, sekalipun seorang yang diakui kredibiltiasnya dalam ijtihad oleh para pembesar Syi’ah, bukan seorang marja’. Tapi ia berusaha mengantarkan anda, melalui argumentasi-argumentasi sederhana yang dikemukakannya, untuk mengetahui fiqih syiah lebih jauh.

Semakin penasaran Amin akan buku yang ada dihadapannya ia pun mencari apa yang dimaksud dengan Marja’,  ternyata Marja’ ialah:

Ulama-ulama yang dipilih masyarakat sebagai tempat bertaklid atau berittiba’

“..bila kalian rajin mendatangi perpustakaan,

 dan membaca buku-buku yang ada sini semua ,

..sama artinya kalian berguru kepada

Ratusan bahkan ribuan ulama besar

 dari seluruh penjuru dunia….”

(Al-Habib Husin Bin Abu Bakar Al-Habsyi)

s

Ulama’ syiah mewajibkan orang awam bertaklid atau merujuk dalam urusan agama mereka kepada seorang mujtahid yang memenuhi syarat. Antara lain : hidup, diakui kemampuan dan kridibilitas ijtihadnya, ‘adil, ibadah, takwa, wara’, istikomah, tidak cinta dunia dan tidak melakukan  perbuatan dosa besar dan dosa kecil.

Semakin penasaran Amin untuk mengetahui mazhab Ja’fary, kemudian Amin menemukan pengertian Imamah yang selama ini menjadikan hatinya penasaran, ternyaa istilah Imamah  – dari kata itu muncul istilah Imam- dalam syi’ah tidak sama dengan isytilah khilafah atau imarah –masing-masing melahirkan kata khilafah dan amirul mukminin- dalm sunni. Istilah khilafah dan imarah lebih bersifat politis. Ia dimaksudkan bagi sesorang yang memangku jabatan kepala Negara dalam sistim “politik islam”. Sementara istilah Imamah , dalam teologi Syi’ah, tidak harus identik dengan jabatan kepala Negara. Imam adalah sesorang yang diserahi tugas meneruskan risalah islam setelah nabi Muhammad saw. Karena pungsinya yang sama dengan nabi Muhammad Saw, Maka Imam bersifat maksum. Ia tidak pernah melakukan kesalahan atau dosa . Semua kata dan prilakunya mencerminkan kebenaran. Karena itu, sebagaimana rosul, semua kata dan prilaku imam adalah hujjah , mesti diikuti oleh setiap orang yang beriman kepadanya. Dengan kata lain, fungsi kata dan prilaku imam, dalam pendanga syi’ah , sama dengan kata dan prilaku nabi. Bedanaya, rosul  mendapatkan wahyu lansung dari Allah swt, sedangkan imam tidak. Imam mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah berupa ilham atau firasah. Makanya, sekalipun Abu baker Siddiq, Umar Ibn Khattab, dan Usman Ibn Affan ( ra) adalah penguasa-penguasa Islam pada zamanya, tidak menjadi halangan bagi Syi’ah untuk meyakini ‘Ali Ibn Abi Thalib  sebagai imam yang wajibut-thaah. Posisi keimamahan ‘Ali tidak otomatis batal dengan didudukinya bangku kekhalifahan oleh tiga sahabat besar nabi tersebut.     

              Amin mulai merasakan sedikit terobati rasa dahaganya akan apa itu syi’ah?, setelah jarum jam menginjak angka sembilan Amin pun mengembalikan buku yang ia baca kepetugas jaga diperpustakaan. Sebelum menuju kamar Amin terlebih dahulu menggosok gigi dan  berwudlu diruang wudlu masjid. Sambil berjalan menuju asrama ditemani seorang temannya yang juga baru selesai dari perpustakaaan mereka sedikit berbincang-bincang hingga tanpa terasa merakapun  sampai dikamar masing-masing.

            Banyak kabar  baik via media cetak maupun ceramah-ceramah yang menerangkan kalau pesantren tempat Amin belajar adalah salah satu penyebar ajaran syi’ah di Indonesia, pada hakekatnya YAPI tempat Amin belajar adalah pesantren yang dibangun atas dasar paham ahlussunnah wal jama’ah sebagaimana pada umumnya yang banyak dianut pesantren yang ada di Jawa Timur. Yang membedakan antara pesantren tempat Amin menuntut ilmu dengan pesantren lainnya adalah para santri diajarkan untuk siap menerima perbedaan mazhab yang memang realita yang terjadi sejak puluhan tahun lalu bukan hanya di Indonesia tapi juga diseluruh dunia islam pada umumnya.

Amin sebagai seorang santri yang memang berangkat dari ketidak tahuan sama sekali akan ilmu agama menganggap apa yang ada di pesantren tempatnya menuntut ilmu adalha suatu hal yang biasa saja, karena dengan makin banyaknya ilmu yang digali akan semakin banyak khasanah pemikiran yang di dapat,.

            Tanpa terasa sudah nenginjak tahun  keempat Amin menuntut ilmu dipesantren, sudah cukup banyak ilmu yang ia dapatkan, Amin sedikit banyak sudah biasa membaca buku-buku berbahasa arab yang tanpa harokat yang umum disebut kitab gundul, bahasa arab pun sudah lumayan ia pahami, perbedaan mazhab juga bisa ia maklumi karena itu bagian dari realita yang ada sejak zaman para sahabat dan tabi’in hingga sampai pada saat ini.

Kurun waktu empat tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah pengorbanan dalam menuntut ilmu dengan segala keterbatasan yang tak jarang membuat Amin merasa minder dengan para santri yang lain yang serba berkecukupan dalam menuntut ilmu dari sisi fasilitas. Dalam keterbatasannya itu Amin hanya memendam harapan dan bertekad agar kelak bila ia ditakdirkan memiliki keturunan jangan sampai mengalami seperti yang ia alami  saat ini. Disela-sela kesedihannaya Amin banyak menulis dibukunya baik berupa esai maupun puisi, diantara sekian banyak puisinya itu sebagian besar menggmbarkan kesedihannya serta harapannya kepada ibunya yang jauh dikempung halaman agar tabah menghadapi apa yang sedang mereka alami.

bersamabung….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *