Fashion

Asa Hilang Mimpi yang Terbuang 22

Setelah selesai menunaikan sholat subuh berjam’ah para santri sibuk dengan tugas mereka masing-masing, Amin dan Husnun serta Zein menuruni bukit kecil tempat mereka berkemah untuk mengambil air ditempat penampungan air yang memang sudah disediakan oleh pengelola bumi perkemahan. ” Min ember yang kamu bawa itu punya siapa?”, Tanya Zein memecah kesunyian dipagi hari, “nggak tahu juga, emang kenapa?” jawab Amin sambil bertanya. “Seingat saya kita tidak bawa ember yang ada tutupnya begitu?”, “Mungkin teman-teman pinjam dari pedagang Zein!”  ujar Husnun. Sesampai dibak penampungan air yang cukup besar itu, masing-masing dari tiga sahabat itu memutar keran untuk memenuhi ember yang telah mereka bawa dari tenda untuk keperluan masak dan air minum.

Zein duduk santai sambil meneguk teh hangat dari secangkir gelas yang erat dipegangnya, Amin yang duduk disampingnya nampak masih merasakan dinginya udara dipagi itu, sambil memperbaiki kancing jaketnya Amin melambaikan tangan kerah Husnun untuk mengajaknya bergabung, “Lebih baik kita turun kebawah saja! Ujar Husnun, “Buat apa kebawah ?”  Tanya Amin, ” cari yang anget-anget lo rek”, jawab Husnun dengan logat jawa timuran yang kental, “hayoo jalan!” ajak Zein penuh semangat, mereka bertiga pun turun kearah bawah untuk mencari warung, dalam perjalanan mereka bertemu dengan Dedi,  “mau kemana ini?” Tanya Dedi, “cari yang anget-anget Ded, mau ikut nggak? Jawab Zein, “lho bukannya ditenda sudah bikin teh? “Iya tapi sekarang kita cari temannya minum teh Ded?, sapa tau ada pisang goreng, telo atau bakwan yang bisa kita makan sebelum makan pagi” terang Zein. “Wah kalau begitu aku ikut” jawab Dedi sambil tersenyum. Tak berapa lama mereka pun sampai dihadapan warung yang memang buka selama dua puluh empat jam.

 “Bu’ kopinya satu” celetuk Zein, “lho kamu ngopi to Zein? ” Tanya Amin sambil mengambil tempe goreng yang masih begitu hangat, ” iya ente ini kayak orang tua aja Zein?’ ujar Husnun sambil mengigit pisang goreng panas. ” bukan begitu…tapi mau menikmati udara dingin dengan secangkir kopi kental dan musik dangdut keras…” Jawab Zein sambil menirukan iklan rokok yang terpampang dibalik pintu warung. Sementara Dedi sibuk menikmati krupuk sambil menunggu mie telor yang dipesannya. ” Min ente minum apa?” Tanya Husnun, “saya teh aja”, jawab Amin santai sambil menikmati tempe goreng. Sambil menikmati jajanan yang ada,  mereka pun sibuk dengan perbincangan yang  dipenuhi oleh gurauan khas anak muda yang terkadang tak jelas ujung pangkalnya. Hingga tanpa terasa jam yang terpasang di dinding warung sudah menunjukkan jam delapan lewat sepuluh menit, mereka pun keluar dari warung untuk kembali ketenda dan berkumpul bersama teman-teman mereka.

            Menu Mie instan kembali terhidang ditemani goreng telor dan sambal, nasi yang berada didalam bakul kecil masih mengepulkan asap tipis menambah rasa lapar yang memang begitu terasa ditengah udara dingin pagi di antara rerumpunan pohon pinus, setelah memanjatkan do’a para santri peserta kemping pun mulai menikmati hidangan pagi yang ada didepan mereka, canda dan tawa mulai terdengar saling bersahut-sahutan, tak jarang terdengar suara yang mengomentari menu yang sedang mereka nikmati. Setelah selesai makan sebagian santri berjalan-jalan melihat-lihat pemandangan yang memang masih sangat asri, Amin, Husnun dan Zein memutuskan untuk berjalan-jalan kearah air terjun, sesampai mereka didekat air terjun merekapun duduk diatas batu yang cukup besar, sambil memandang air yang tercurah dari ketinggian yang cukup tinggi Amin memandang kesekitar pecahan air yang saling berbenturan, pengunjuk sudah mulai banyak yang datang, sebagian ada yang mandi, ada yang hanya sekedar bermain disekitar air yang terasa begitu dingin.

“Min ente nggak mau mandi?”, Tanya Husnun, “nggak ah, dingin” jawab Amin, “Iyo Nun airnya pasti dingin”, tambah Zein. ” ini sudah jam sepuluhan ya? Tapi kok masih dingin!” ujar Husnun, ” ya… karena kita sekarang dipuncak gunung Nun “.

            Sambil berjalan pulang ketenda mereka bertiga membawa kayu bakar untuk masak makan siang, sesampainya ditenda Amin duduk sambil bersandar dipohon pinus, seumur hidupnya baru kali ini ia melihat pohon pinus yang sebenarnya, selama ini ia hanya mendengar dan membaca dibuku saja tentang pohon pinus, karena dikampungnya tidak ada pohon sejenis ini, dipandangnya kesibukan teman-temannya yang memang sudah dibagi tugas oleh ustadz yang mendampingi mereka, dilihatnya Ikhwani yang sedang sibuk menanak nasi, Dedi yang merebus air minum, Husnun yang sedang sibuk mengaduk telor untuk digoreng, sementara Zein mulai menyalakan api ditungku darurat yang mereka buat, karena mereka hanya membawa satu kompor minyak tanah saja. Suasana ceria terlihat dari para santri tidak nampak keletihan diwajah mereka, padahal pada malam sebelumnya sebagaian dari mereka tidak tidur dengan baik karena dinginnya suhu dipuncak bukit.

            Makan siang sudah terhidang, sebelum makan dimulai ustadz Shohibul Aziz memberikan sedikit pengarahan kalau mereka pulang kepesantren pada jam empat sore, bagi para santri yang hendak melihat-lihat disekeliling bumi perkemahan dipersilahkan asalkan sebelum jam empat sore sudah harus kembali berkumpul untuk persiapan pulang kepesantren. Para santri mengangguk, setelah selesai memanjatkan  doa para santri pun asyik menikmati makan  siang yang sudah terhidang diatas tikar yang memanjang, semua peserta kemping duduk rapi mengelilingi hidangan, sambil menikmati makan siang yang diselingi canda, Amin yang bertepatan duduk disebelah Zein  berujar ” Zein habis ini kita jalan-jalan lihat perkebunan petani, bagaimana?” “Boleh sapa tahu kita bisa ketemu bunga desa disini…?” Jawab Zein sambil tersenyum sehingga nampak nasi yang sedang dikunyahnya. ” Hey…nyusun rencana apa itu..?” Tanya Husnun,   “lho dengar juga to ente Nun…?” Tanya Zein, “habis makan kita mau jalan-jalan lihat kebun disekitar sini Nun! terang Amin, “Kalau gitu saya ikut …sapa tau ada gadis desa yang cantik!, “ya…. boleh nanti kalau ada gadis desa ente bawa pakai karung…he..he..” canda Zein sambil tertawa.

Setelah selesai makan,  para santri sibuk dengan tugas masing-masing, ada yang mencuci perabotan yang telah selasai dipakai untuk makan, ada yang menggulung tikar ada pula yang hanya duduk-duduk sambil memandang rekanya karena mereka kebagian tugas mempersiapkan makan, jadi setelah makan mereka mendapat giliran beristirahat.

Bersambung……..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *