Fashion

Asa Hilang mimpi yang Terbuang 18

Setelah sampai dikamar perawatan yang ternyata didalam satu ruangan itu berisi lima ranjang fasien, dengan satu kamar mandi dan tidak ada kipas angin hanya pentilasi udara yang memang cukup besar, masih nampak kalu bangunan rumah sakit adalah bangunan tua yang mungkin saja sisa peninggalan penjajah belanda karena dari arsitektur bangunan yang nampak khas bangunan belanda dengan pintu-pintu yang besar dan tinggi serta tiang-tiang besar bercorak romawi. “Min saya pulang dulu kepesantren ya?” Kata Abdillah dengan logat khas arabnya…,” trus saya bagaimana dil…?” tanya Amin…seperti orang kebingungan.., “nanti ada teman yang saya suruh nemani kamu tenang saja ya sambil beristirahat.”

Lama sekali rasa malam itu bagi Amin, disaat ia sendiri tidak ada yang menemani, didalam ruangan ada tiga orang fasien selain dirinya dan tersisa satu ranjang  yang kosong.

Malam itu Amin pun tidur ditemani dua sahabatnya santri yang juga berasal dari lampung. Pagi itu suara hiruk pikuk pada umumnya rumah sakit mulai terasa, para dokter didamping perawat mulai lalu-lalang memeriksa fasien disetiap kamar, hingga sampailah seorang dokter ditemani dua orang perawat memasuki ruangan yang dihuni Amin , “adik ini sakit apa?”…. Tanya dokter dengan suara yang lembut dengan dialek Jawa Timuran yang sangat kental……. “Celulitis dok…” jelas perawat yang disampingnya…” Ooh..begitu….rujukan dari dokter siapa?” Tanya pada perawat…? “dari dokter Yati… dok…kata perawat disampingnya. “Sudah berapa lama bengkaknya?… Tanya dokter… Hampir satu minggu dok…ujar Amin.

Oh…kata dokter sambil mengangguk…, Perawat pun membuka perban yang melingkar dibetis kaki Amin dan nampaklah tiga buah lubang kecil menganga,… “coba ambilkan bius anti rasa …”: ujar dokter pada perawat disampingnya, kemudian dokter menyuruh tutup mata agar Amin tidak terkena semprotan obat, terasa dingin dikaki Amin ketika semprotan itu mengenai dagingnya, ketika Amin membuka kedua matanya terlihat olehnya  tangan dokter yang sedang megang gunting, kemudian gunting itu dimasukkan kedalam lubang yang ada dikaki Amin sehingga tampaklah lubang yang menganga sekitar lima sampai enam centi meter, namun Amin tidak sedikitpun merasa sakit saat dokter membuat lubang dikakinya, setelah nampak lubang dokterpun mulai menekan kaki Amin dengan dua tangan dari atas dan bawah saat itulah Amin menjerit kesakitan sambil menangis, dokterpun menyuruh Amin mengigit selimut agar tidak sampai terkena lidah tapi rasa sakitnya luar biasa sekali hingga air mata Amin bercucuran. dokter mulai menghentikan pijatan dikaki Amin apa bila sudah nampak darah murni yang keluar, dan didalam lubang dikaki Amin dimasukkan cairan betadin dan kain kasa lalu diperban kembali, setiap pagi selama kurang lebih dua minngu Amin menangis dan menjerit kerna rasa sakit yang tidak terhingga.

Amin dirawat dirumah sakit kurang lebih dua puluh lima hari dengan bergantian ditemani oleh teman-temannya dari pesantren yang secara bergantian untuk menjaganya, rasa terimakasih Amin pada teman-temanya itu sangat besar sehingga sangat sulit buat dia untuk melupakanaya. juga untuk Abdilah yang dengan sabar dan kedewasaannya berusaha menenangkan ketakutan Amin  saat mendengar kata-kata :    

“amputasi….”  Dari dokter, Hingga saat Amin  sudah pulang dari rumah sakit Abdillah sambil bercanda bercerita pada teman-teman kalau Amin menangis ketika kakinya mau diamputasi….

            Selama kurang lebih dua puluh lima hari Amin dirumah sakit banyak esai dan puisi yang dia tulis untuk mengisi kejenuhan dan kekosongan waktunya, diantara puisi-puisi itu :

KEMBALIKAN AKU

Malam ini malam kedua puluh tiga dibulan Juli

Lelah sekali perasaan jiwa ini

Persendian seakan lepas dari tempatnya

Bayangan malaikat rahmat seakan hilang

Desiran kematiaan seakan akan dekat sekali dinadi ini

Tuhan maafkan aku

Jika aku kembali padamu

Terimalah aku sebagai orang yang kau rahmati

Jangan biarkan aku tersiksa

Aku hambamu dengan segala kekurangan dan kelalaian

Maafkan akau….

Terimalah aku…

Kalau aku harus kembali padamu

Jangan biarkan jasad ku terpisahkan dari pusara bundakau

Kembalikanlah aku

Aku ingin bersama mereka

Dalam keheningan malam

Dalam kehangatan siang

Dibawah sepoi-sepoinya kamboja

Dibawah dahan yang makin menua

Aku tangkap isyarat mu

Saat ini, bahwa kematian sangat dekat padaku

Kembalikanlah aku kekampung halamanku tempatku terlahir

Bumi tumpahan darahku

Aku takkan rela jasadku disini

Ruhku takkan tanang selamanya

B ila pusaku tertancap jauh

Dari pusara moyangku

Aku akan gelisah

Aku akan berontak

Dan di setiap tidur  mereka

Akan aku impikan Tentang pesanku ini

Yang tak mereka lakukan

Tentang wasiatku yang mereka lalaikan dan campakkan

Ku tulis puisi ini saat keheninganku sendiri

Saat pesuruh tuhan seakan mengetuk hatiku

Saat catatan dosaku dibuka dan diingatkan

Saat tengkuk dan roma berdiri

Aku berserah diri padaMu

Padanya aku berharap

Bahwa masa takkan selamanya kekal abadi

Aku hamba yang lemah

Hanya berharap padaNya jua

Kuharap kau yang membaca

Jelaskan pada mereka yang ada

Tentang harapanku, yang sebenarnya

Bahwa aku ingin pulang

Bersama keluargaku nun jauh disebrang sana

Dan aku tak ingin disini dibumi yang mungkin aku tak dikenal orang

Hingga tiada bunga-bunga yang ditaburkan untuk mengenang diriku

Aku tak ingin jauh dari rantai darah keluargaku

Walau kini jauh disana.

Bangil, 23 Juli 94

            Selama menjalani perawaten dirumah sakit dan ada satu malam yang sangat mencekam tapi juga menggelikan, berawal ketika hari mulai malam sekitar jam tujuh, seorang pasien dating….berdasarkan keterangan dua orang sahabat Amin yang ketepatan mendapat giliran menjaga Amin malam itu, kalau ada pasien baru yang datang dalam kondisi yang sudah cukup parah karena terlambat penanganan, pasien tersebut digigit seekor ular berbisa ketika sedang bekerja disawah, karena keterbatasan pengetahuan masyarakat sehingga korban hanya diobati dengan obat kampung , namun dua hari kemudian racun dari ular berbisa itu sudah menjalar keseluruh tubuhnya.

Mendengar cerita dua orang sahabatnya itu Amin berharap semoga sipasien tidak dirawat dikamar yang sama dengannya mengingat ada satu ranjang yang kosong, karena sudah menginjak jam sepuluh malam Amin dan dua orang temannya Akhlis dan Atho’illah tertidur, namun Amin dikagetkan oleh suara gaduh dan panik Aminpun terbangun lalu duduk diatas ranjangnya dan betapa kagetnya Amin kalau disebelah ranjangnya sudah berdiri beberapa orang dokter dengan peralatan lengkap dan tabung oxygen yang berdiiri disamping ranjang pasien, satu orang dokter nampak sedang memencet bagian dada dari pasien yang sudah terlihat kesulitan untuk bernapas, walau dua buah selang oxygen telah dimasukkan kedalam hidungnya. Tak lama kemudian suara seorang perawat memanggil istri pasien itu untuk mendekat, ketika wanita paruh baya itu melihat kondisi suaminya yang sedang berjuang melawan maut iapun menjerit kencang  hingga membangunkan salah seorang teman Amin yang bernama Akhlis,.. “ada apa Min kok brisik …?”  tanyanya  

Tidak ada apa-apa….” Jawab Amin sambil menyuruh Akhlis tidur kembali, karena terbayang dalam benak Amin kalau mereka berdua tahu, bisa-bisa mereka pulang kepesantren malam itu juga pikir Amin. Akhlis sahabatnya itu pun tidur kembali sehingga ia tidak melihat jenazah pasien yang berada disamping mereka dikeluarkan dari ruangan yang saat itu sedang mereka tiduri.

Rahasia itu tidak pernah Amin ceritakan hingga Amin pulang kepesantren barulah  peristiwa itu diceritakannya. Peristiwa itu sempat membuat Amin ketakutan, walau berusaha  cepat dilupakanya. Namun peristiwa itu membuat ia sadar betapa ajal kapan saja dan pada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah swt pasti akan datang dan ia tidak akan mundur barang sedikitpun dan juga tidak akan maju walau sekejap, janji Allah pasti akan sampai pada setiap makhluknya dimuka bumi ini sebagai mana firman Nya:

“Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (Q.S. Al-A’araf 34.)

Ajal tidak pernah membedakan sikaya dan simiskin, pintar ataupun bodoh, besar ataupun kecil, bila saatnya tiba ia akan datang juga, sebagai makhluk yang beriman dan sadar akan kematian yang setiap waktu datang menjemput, sudah selayaknyalah manusai menyadari bahwa masa yang kekal sesungguhnya adalah diakhirat kelak yang disana hanya diri sendiri dan amal baik yang akan mempertanggung jawabkan perbuatan selama hidup didunia, tidak berharga rumah yang mewah yang telah dibangun, akan sia-sia simpanan harta baik itu berupa uang, emas atau sejenisnya, karena hanya kain putih tiga helai yang berlapis yang akan dibawa menghadap sang pencipta alam semesta ini yang pengadilanya sangat adil dan takkan sekecil biji sawi pun terlewatkan dari perbutan baik maupun buruk dari makhlu-Nya. Maka berbahagialah manusai yang selama hidupnya menjalankan semua perintah serta menjauhi laranga-larangan-Nya, karena tidak ada lagi pertololongan dihari akhir kelak selain rahmat Allah azza wa jalla rouufurrohim.     

Setelah kembali kepesantren setelah menjalani perawatan Amin sering termenung, ia membayangkan apa yang dirasakan ibunya ketika mendengar buah hatinya sakit dan berada jauh dari pandangan matanya, Amin yakin bahwa ibunya sangat ingin mengunjunginya dan merawatnya dikala Amin sakit, tapi apalah daya jauhnya tempat serta besarnya uang yang tidak memungkin kan  ibunya untuk datang.

Sesekali Amin kembali membuka buku diary nya dan membaca kembali puisi serta tulisan yang ia tulis dikala menjalani perawatan dirumah sakit, diantara beberapa puisi yang ia baca kembali ialah puisi pendek yang menggambarkan kesedihan dan keputus asaannya akan musibah dan cobaan yang menimpanya, walau pada hakekatnya rasa putus asa sangat lah dibenci oleh Allh swt sebagaimana firmanya:

Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (Q.S. Yusuf 87)

Puisi-puisi yang menggugah itu :

Pergilah…..

Jenuh menguasai dirimu

Aku rela……

Mari kita sama-sama lupa.

Bangil, 18 des 93  

Ambillah….

Aku tak kan pernah kecewa

Karena kita tak pernah menanam benih

Tiada yang akan kita tuai

Sesalpun takkan terlintas

 Bangil,  29 des. 93

Bersambung….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *