Asa Hilang Mimpi yang Terbuang 13…..
GEMBIRA TERKURUNG DUKA
Ditengah aktivitas yang padat yang dijalani Amin dipesantren terbersit duka sebagaimana yang pada umumnya dialami anak yang ditinggal oleh ayah dan harus hidup dari bantuan sanak saudara, setelah beberapa tahun menuntut ilmu dipesantren begitu banyak harapan yang terbayang dikepalanya namun tidak banyak dukungan akan itu semua.
Satu sisi ia harus menuntut ilmu agar kelak lulus dengan hasil yang memuaskan agar bisa membanggakan orang tua serta sanak saudara, tapi dilain sisi ia harus berhadapan dengan realita yang dihadapinya, teramat sering Amin merasakan tanpa memiliki uang untuk sekedar membeli kebutuhan sehari-hari, belum lagi kitab yang sudah dimilki oleh teman-teman sekelas nya semntara ia belum punya karena tidak memilki uang untuk membeli. Sudah sering Amin berkirim surat menerangkan tentang kebutuhannya dipesantren mulai dari kebutuhan sehari-hari sampai kebutuhan belajarnya namun tidak juga mendapat jawaban.
Kalaulah Amin tidak ingat akan wasiat Baknya ketika masih hidup kalau ia sangat ingin punya anak yang belajar ilmu agama dipesantren, ingin rasanya ia lari dan pulang saja kembali kekampung halamannaya, hingga pernah satu waktu terbersit dalam pikirannya untuk pulang saja kekampungnya dipampangan dan menjadi petani saja karena toh menurutnya jadi petani juga bisa kaya raya seperti kakeknya Haji Muhammad Daud seorang petani karet yang sukses, memilki banyak sawah, ladangpun luas hingga ia bisa menunaikan ibadah haji ketanah suci sampai tiga kali , memilki rumah yang besar anak-anaknya semua berpendidikan dijawa bahkan sampai sarjana padahal waktu itu masa pergerakan dan perjuangan melawan penjajah.
Datuk nya memang orang yang berpikiran jauh kedepan semua anaknya berpendidikan baknya pun dulu sekolah di Jogyakarta, selain itu datuknya juga adalah orang yang benaar -benar taat beragama pernah diceritakan oleh Almarhumah neneknya Hajjah Mardiyah kalu dulu datuknya sejak muda adalah orang yang benar-benar taat beragamam, dikala bulan puasa disaat remaja seumurnya banyak yang tidak berpuasa tapi datuknya tetap berpuasa, hingga sampai tuapun ia tidak pernah meninggalkan solat berjamah dimasjid, datuknya adalah sorang pengikut NU yang sangat fanatik hingga saat Amin hendak pergi kepesantren dengan tegas dan keras dia menanyakan kepada anak tertuanya Haji Mukhtar Daud …”Mukhtar…pesantren tempat cucuku belajar ini alirannya NU apa Muhammadiyah..? Tanyanya dengan mimic dan nada yang sangat tegas “..Bukan… Wak… ” jawab wak Haji Mukhtar kepada nya ..”ingat kalau pesantren itu bukan NU pulangkan saja cucu saya..! saya tidak rela! saya dan anak-anak saya kelak meninggal tidak ada yang mengirimi Fatihah dan qulhu…” Ujarnya.
Ituah Haji Muhammad Daud sosok yang begitu tegas terhadap apa yang telah ia yakini dan pekerja keras yang tidak kenal lelah hingga ia menjadi sosk petani yang sangat sukses dan berpikiran jauh kedepan hingga rumahnya pun sudah diasuransikan padahal kala itu masih sangat asing apa itu asuransi? Karena banyaknya hasil pertanian yang dapat disetiap musim panen pemerintah hindia belanda mewajibkanya membayar pajak ke Palembang dan tidak banyak dari petani saat itu yang bayar pajak sampai ke Palembang.
Kala lamunannya sampai ke perjuangan Datuknya yang sukses jadi petani rasanya ingin ia pulang karena beratnya cobaan yang ia alami dipesantren mulai dari kiriman yang tak jelas datangnya, tunggakan uang asrama yang juga sering nunggak hingga membuatnya malu pada teman-teman dan gurunya. Tapi kemana ia mengadu ..? berkirim surat sudah ia lakukan…, coba bersabar juga sudah dilakukannaya setiap waktu.
Usatadz Mutho’i adalah salah seorang guru yang dianggapnya seperti kakaknya sendiri tempat ia berkeluh kesah, darinya pula ia banyak menimba pengalaman dalam menghadapi keadaan yang sedang ia alami. Dan tak jarang pula kesedihannya ia sampaikan kepada buku diarynya karena Amin tidak tega untuk mengabari emaknya di kampung karena ia sadar emaknya adalah seorang perempuan yang juga harus berjuang membesarkan empat saudara-saudaranya yang juga sedang sekolah, Amin tidak ingin saat suratnya sampai hanya membuat emaknya sedih sementara untuk membantu ia pun tidak bisa.
Padah hakekatnya Amin sangat berbangga hati dengan emaknya dikampung yang begitu tulus membesarkan anak-anaknya semenjak kepergian baknya, dengan susah payah emaknya mampu membesarkan saudara-saudaranya dengan hasil dari kebun yang ditinggalkan baknya walaupun hasilnya tidaklah seberapa dibandingkan dengan kebutuhan hidup sehari.hari.
“…Pesantren tempat cucuku belajar itu alirannya NU apa Muhammadiyah..? ..”ingat…! kalau pesantren itu bukan NU pulangkan saja cucu saya..! Saya tidak rela,
bila kelak Saya meninggal tidak ada yang mengirimi Fatihah dan qulhu…”.
(Haji Muhammad Daud)
Bersambung………….

