ASA HILANG MIMPI TERBUANG 4…
KEPERGIAN SANG AYAH
Udara dingin selepas subuh terasa menusuk, tetes embun masih nampak jelas membasahi dedaunan disepanjang jalan, Amin dan ayahnya nampak berlari santai menyusuri jalan, aktivitas yang memang rutin mereka lakukan setiap pagi, Amin mendampingi ayahnya lari pagi setiap hari, pada awalnya mereka berdua didampingi oleh adiknya yang bungsu namun karena sikecil sering susah bangun maka tak jarang meraka berlari hanya berdua menyusuri jalan sambil menghirup segarnya udara pagi yang masih jernih dari polusi udara.
Sore itu Amin bergegas pulang dari sekolah sesaat setelah didalam mobil bertepatan dia duduk bersebelahan dengan saudaranya Rustian dan Rustian membisikan padanya kalau ayahnya telah meninggal dunia setelah dua hari mendapat perawatan diumah sakit Hasan Sadikin Bandung, ingin rasanya Amin menjerit saat itu namun ia sadar kalau ia sedang berada didalam kendaraan umum, dicubitnya tangannya apakah ia sedang bermimpi?, namun terasa sakit, terbayang masa-masa dimana sang ayah yang begitu bersahaja, keras, tegas namun begitu lembut dan penuh rasa iba kepada semua orang, terlintas dibenaknya wajah sang ayah yang begitu lembut saat hendak pergi kekebun dengan ikat kepala dari handuk kecil melingkar dikepalanya, sambil mendayung sepeda kesayangannya untuk memeriksa kebun hasil jerih payahnya.
Tanpa terasa mobil yang ditumpangi berhenti didepan rumah salah seorang teman Amin, Usman namanya, tiba-tiba min.. ayahmu meniggal.. “ujar ibu nya Usman..” dari halaman rumah meraka sambil nengok dan sejenak memandang kearah suara tampak ibu dan kakaknya Usman sedang duduk dihalaman rumah mereka menjelang sore, pecahlan tangis Amin yang sejak tadi ditahannya, sambil berlari ia menuju pintu belakang rumahnya karena didepan dilihat banyak sekali tamu yang telah berdatangan untuk ta’ziayah, sambil mendekap ibunya Amin menjerit sekencang-kencangnya seakan ia tak percaya kalau ayahnya sudah pergi meninggalkan mereka semua untuk selamanya, dan takkan mungkin kembali hingga pertemuan di surga kelak sebagaimana janji Allah swt bahwa anak yang saleh serta istri yang solehah kelak akan bertemu disurga sebagai keluarga yang bahagia.
Sebagai keluarga yang menganut islam panatik dan pengikut Ahlussunnah waljama’ah (NU) yang taat, setiap malam mereka mengadakan tahlilan hingga malam ketujuh untuk mengiringi kepergian sang ayah menuju keharibaan ilahi yang maha adil dan bijaksana.
Hari-hari setelah kepergian ayahnya, dilalui amin dengan perasaan galau bahkan terkadang terkesan bimbang, mimpi-mimpi yang dulu pernah dicitak-citakannya seakan mengambang bersama asap jerami yang ia pandangi setiap senja hari kala para petani membakar jerami untuk menyambut masa tanam padi, hembusan angin dilubuk way lima serasa hambar tak dirasakannya, tawa riang para sahabat mengajaknya mandi di lubuk tak ajarang diabaikanya, lamunannya masih selalu teringat akan pesan ayahnya, “Min kamu harus ingat saat ini orang pintar saja banyak yang tidak dipakai orang, apalagi orang bodoh, maka belajarlah yang rajin agar kelak kamu tidak dihina orang lain.” Kata-kata itu masih terngiang-ngiang ditelinga dan kepalanya, teringat pula janji ayahnya kalau kelak ia bisa masuk sekolah di SMP Negri nanti Amin akan dibelikan sepeda, terbayang selau raut wajah ayahnya yang lembut namun tegas dalam mendidik anak-anaknya, setiap pagi sebelum meraka pergi kesokalah mereka harus sarapan terlebih dahulu hidangan telur goreng selalu siap dimeja setiap orang harus makan terlebih dahuluu baru pergi kesekolah.
Bila rindu mernjemput Amin selalu memandang kamar ayahnya, diingatnya lagi saat-saat mereka bersama adiknya sibungsu Ifan berlari bersama ketika subuh hari, menyusuri jalanan, bila itu terlintas begitu besar rasa sesal mengurung hidupnya kenapa disaat ia tak mendampingi sang ayah tercinta, ayahnya mendapatkan musibah hingga membuat sang ayah mejalani rawat jalan selama kurang lebih empat puluh hari hingga pada akhirnya sang ayah harus dirujuk kerumah sakit Hasan Sadikin Bandung hingga beliau menghembuskan napas terakhirnya, begitu jauh dikota kembang itu, Amin bisa merasakan betapa sedihnya ayahnya ketika pergi mengahadap sang pencipta tak didampingi istri yang begitu mencintainya, hingga akhir hayatnya, jauh dari kelima anaknya yang begitu haus akan kasih sayang terutama sibungsu yang begitu disayanginya, hingga tak jarang membuat kami cemburu karena rasa sayang ayah padanya yang begitu dalam, karena Ifan saat itu baru menginjak kelas lima sekolah dasar kala ia masih begitu dahaga akan belaian ayah yang begitu sayang padanya.
” Kamu harus ingat..! saat ini orang pintar saja
banyak yang tidak dipakai orang,
apalagi orang bodoh, maka belajarlah yang rajin!,
agar kelak kamu tidak dihina orang lain.”
(Haji Rustam Daud)
Namun itulah ketentuan Allah sang Pencipta alam semesta sebagaimana firmananya :
“Semua yang ada dimuka bumi akan hancur kecuali (Allah) Zat Yang maha agung lagi maha tinggi .”QS Ar-Rahman 26-27″
Semua harus ikhlas tabah serta sadar bahwa perjalanan setiap hamba tinggal menunggu garis yang telah diberikan Allah swt, kita hanya menjalani dan mematuhi apa yang telah diperintahkan oleh Allah robbul jalali wal ikrom.
Tak ada sesuatu pun dimuka bumi Alllah yang luput dari janji dan ketentuan-Nya berada dimanapun kita akan menemui semua ketentuan yang Allah telah berikan, jalan kebaikan telah dipaparkan didalam kitab suci-Nya jalan mana yang akan kita pilih kebaikan kah? atau meninggalkan kebaikan dan memilih kesesatan yang telah dilarang Allah swt.
Karena kematian adalah suatu yang pasti akan dialami oleh semua makhluk bernyawa. Kematian itu sendiri satu, tetapi sebabnya banyak. Kematian itu satu, tetapi kondisi mental manusia berbeda-beda dalam menghadapinya.
Kematian pasti datang, namun hanya Allah swt. Sajalah yang mengetahui waktunya. Kerahasiaan waktu mati sesungguhnya rahmat yang besar bagi manusia. Bila anda mengetahui bahwa tepat setelah tiga hari atau tujuh puluh dua jam lagi anda akan mati, umpamanya, mungkin Anda akan menghabiskan sisa umur Anda dalam ketakutan, kesedihan, kebingungan, stres, atau bahkan ‘mati’ sebelum anda mati.
Suara raungan sirine mobil jenazah memecah kesunyian malam menjelang subuh, seakan masih terdengar ditelinga Amin dikala kesendiriannya, namun itu semua dicoba dibuangnya jauh-jauh walaupun tak jarang sangat sulit untuk dihapus dari ingatannya. Namun ia selalu berdo’a agar baknya meninggal dalam husnul khotimah sehingga menghadap keharibaan Allah swt. Sebagai hamba yang memang telah dipanggil-Nya sebagai penghuni surgawi sebagaimana firman Allah Swt.:
Wahai Nafsu mauthma’innah ( jiwa yang tentram ), Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka, masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-Ku. (Q.S. Al Fajr 27-30)
