Politik

DUALISME KEPEMIMPINAN PBNUKetika Iman Bersinggungan dengan Kekuasaan

Oleh: Laksamana Sukardi

Agama selalu berangkat dari ruang batin: sebuah ikatan personal antara manusia dan Tuhannya. Ia tumbuh dari kesunyian hati, bukan dari hiruk-pikuk perebutan pengaruh. Namun sejarah menunjukkan bahwa ketika iman berubah menjadi institusi besar, ia memasuki arena baru, arena yang kerap diwarnai kompetisi, kepentingan, dan kadang korupsi.

Dinamika dualisme kepemimpinan Tanfidziyah yang belakangan muncul di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) terkait keterlibatan sebagian unsur kepemimpinan dengan izin tambang yang diberikan pemerintah (Kompas.com 12/12/2025) adalah contoh bagaimana organisasi keagamaan dapat terseret ke pusaran ekonomi-politik. Fenomena ini bukan hal baru; para sosiolog klasik telah lebih dulu merumuskan pola-pola yang kini tampak kembali.

Max Weber menyebut proses ini sebagai routinization of charisma: spiritualitas yang lahir dari keikhlasan dan keteladanan akhirnya mengeras menjadi struktur birokratis. Robert Michels, lewat Hukum Besi Oligarki, menegaskan bahwa organisasi besar apa pun pada akhirnya membentuk elite yang mempertahankan kekuasaan. Sementara Durkheim mengingatkan bahwa ketika institusi lebih sibuk mengurus kepentingannya sendiri ketimbang nilai-nilai yang dijunjung, otoritas moralnya perlahan luntur.

Dalam konteks NU, organisasi dengan sejarah panjang, puluhan juta pengikut, dan pengaruh sosial yang luar biasa, risiko ini semakin nyata. Izin tambang bukan sekadar dokumen administratif; ia adalah pintu menuju patronase ekonomi dan jaringan kekuasaan yang luas. Ketika sumber daya semacam ini bersinggungan dengan struktur organisasi keagamaan, friksi internal hampir tak terhindarkan.

Di tengah arus ini, prinsip-prinsip dasar NU layak dijadikan kompas moral (NU Online: nu.or.id).
Tawassuth (moderat) mengingatkan agar setiap langkah dijalankan tanpa ekstremitas. Tawazun (seimbang) menuntut keseimbangan antara kepentingan umat, negara, dan integritas institusi. I’tidal (tegak lurus) mewajibkan keadilan dalam keputusan organisasi. Tasamuh (toleransi) penting untuk meredakan perbedaan internal, sementara islah (perbaikan) menjadi prinsip utama ketika muncul ketegangan.

Di atas semuanya, NU berdiri di atas tradisi amar ma’ruf nahi munkar—mengajak pada kebaikan dan menolak kemudaratan, termasuk dalam urusan pengelolaan sumber daya publik.

Kita pernah melihat pola serupa dalam sejarah agama-agama besar dunia. Ketika institusi tumbuh, tantangannya bukan hanya mempertahankan iman, tetapi memastikan agar misi spiritual tidak terdistorsi oleh kepentingan duniawi. Fragmentasi kepemimpinan, perebutan legitimasi, hingga polarisasi jamaah adalah konsekuensi logis jika garis batas antara mandat spiritual dan kepentingan ekonomi tidak dijaga.

Namun situasi seperti ini bukan tanpa jalan keluar.

Pertama, organisasi keagamaan harus berani menegaskan batas yang jelas antara fungsi spiritual dan aktivitas ekonomi. Pengelolaan sumber daya dan proyek-proyek publik harus ditempatkan di tangan profesional independen, bukan di pusat kendali keagamaan.

Kedua, mekanisme transparansi internal perlu diperkuat: audit rutin, dewan pengawas independen, serta standar etika yang tegas bagi para pemimpin. Prinsip al-bayyinah (kejelasan) dalam Islam menjadi pijakan penting bagi akuntabilitas.

Ketiga, diperlukan forum musyawarah yang mampu meredam perbedaan dan mencegah eskalasi konflik. Tasamuh dan islah adalah nilai yang diwariskan para masyayikh NU, yang meyakini bahwa persaudaraan jamaah lebih tinggi nilainya daripada kemenangan sebuah faksi.

Yang terpenting, NU sebagai asset bangsa Indonesia, harus kembali pada misi awalnya: membimbing umat, bukan mengelola kekuasaan. Seperti yang diamati para pemikir sosial dan ‘organisational behaviour’, sejak seratus tahun lalu, iman mengangkat individu, sementara institusi cenderung mengokohkan kepentingan. Dan ketika pengokohan itu menjadi tujuan, inti spiritual mulai terkikis.

Di tengah tarik-menarik kepentingan ekonomi dan politik hari ini, Indonesia membutuhkan NU sebagai penjaga moralitas publik—bukan sebagai peserta dalam kontestasi sumber daya. Mengembalikan kejernihan misi adalah kunci agar organisasi sebesar NU tetap menjadi pilar moral yang kokoh, bukan arena yang rapuh.

Pada akhirnya, persoalannya bukan pada besar atau kecilnya organisasi, tetapi pada keberanian menjaga jarak dari kekuasaan. Sejarah mengingatkan bahwa ketika institusi tumbuh melampaui imannya, yang hilang bukan hanya kejernihan spiritual, tetapi juga kepercayaan publik. Dan NU, dengan tradisi ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) yang berakar pada kesederhanaan dan kebijaksanaan, memiliki semua modal moral untuk memastikan hal itu tidak terjadi.

Ada baiknya pemerintah Republik Indonesia mempertimbangkan alternatif lainnya yang lebih baik ketimbang memberikan konsesi tambang kepada NU dan organisasi keagamaan lainnya agar organisasi keagamaan dapat sepenuhnya terbebas dari tarikan gravitasi kekuasaan. Seperti yang telah lama diamati para sosiolog klasik, saat iman berubah menjadi institusi, ia memasuki arena baru — sebuah ruang yang diatur bukan hanya oleh idealisme spiritual, tetapi juga oleh kepentingan duniawi.

Jakarta, 12 Desember 2025.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *