Fashion

Asa Hilang Mimpi yang Terbuang 19

KEMAH DI ALAM NAN INDAH

Kemping dan Tadabbur alam adalah salah satu dari beberapa program pesantren, dua hari yang diberikan pesantren kepada setiap kelas untuk menggunakan waktunya sebaik-baik mungkin untuk beristirahat sambil menikmati indahnya alam  karunia Allah yang maha pemurah dan penyayang pada ummatanya. Saat waktu kemping tiba adalah waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh para santri selain libur semester dibulan maulid. Saat Amin masih duduk dikelas tiga tsanawiyah, bersama teman sekelasnya mereka pergi kemping kedaerah malang tepatnya dibumi perkemahan yang berudara sejuk dengan pohon pinus yang begitu tinggi dan rapat serta air terjun yang mengalir deras dari ketinggian yang tingginya tak kurang dari dua puluh meter, Susana  hutan lebat yang masih asli dan gemericik air terjun  kala terkena bebatuan membuat suasana begitu nyaman untuk menghilangkan kepenatan serta kejenuhan yang menghimpit selama dipesaantren. Menjelang mahgrib kala surya mulai tenggelam diantara rimbunnya pohon pinus, tenda telah didirikan oleh Amin dan rekan-rekannya, masing-masing santri mulai melaksanakan tugasnya, ada yang  memasak nasi, mencari kayu bakar, menghidupkan kompor yang hanya satu, serta lampu petromak yang mereka bawa dari pesantren. Setelah menunaikan sholat maghrib berjama’ah secara bergantian, Amin dan temannya Husnun Nadhir serta beberapa santri lainya sibuk menyalakan api unggun untuk memeriahkan acara malam itu, disela-sela kegembiraan yang terasa lepas, seakan tiada beban yang pernah mereka alami, betul-betul mereka tinggalkan segala bentuk kepenatan selama diasrama. Suara kesibukan bagian konsumsipun mulai terasa, aroma mie instant yang memang telah dipersiapkan membuat rasa lapar didinginnya malam sangat terasa, Gemericik minyak goreng panas kala  telor bercampur bawang dicelupkan menjadi alunan musik tersendiri yang membuat lidah mulai meneteskan air liur, disela-sela kesibukan memasak tiba-tiba salah seorang santri Alwie namanya menayakan cobek (tempat menggilas sambal), …”ada  didekat bakul…” ucap salah seorang santri, ..”tidak ada …” balas Alwie…, setelah dicari-cari ternyata cobek yang dipinjam dari warung telah pecah mungkin terinjak oleh salah seorang santri yang berlalu-lalu digelapnya malam, akhirnya sambal pun  digilas dengan cobek yang hanya sebelah karena telah pecah, namun disitulah seni dan kenangan yang akan sulit dilupakan.

Saat makan pun tiba, hidangan yang terdiri dari telor dadar goreng, mie instant hampir memenuhi panci yang berukuran lumayan besar, sambal dalam dua piring, ikan asin serta kerupuk menghiasi  tikar yang memang sudah digelar terlebih dahulu. Setelah membaca do’a para santripun makan dengan lahap serta diselilingi  canda dan tawa, mengomentari menu yang mereka makan,…” ini yang bikin sambal mungkin ingin cepat-cepat  nikah….” Kenapa?… tanya Ustadz Shohibul Aziz ” selaku guru pengawas, “Asin sekali…! Ujar salah seorang santri..  diikuti gemuruh tawa yang saling bersahutan, mendengar itu, Alwie yang membuat sambal hanya tesenyum-senyum saja sambil terus menikmati makanan yang ada dihadapanya.

Setelah selesai menyantap menu serba sederhana, Amin dan teman-temanya mulai duduk mengelilingi api unggun, sambil memegang  segelas teh panas Amin memperhatikan rekannya Thantowi santri asal cirebon meneyemburkan minyak tanah dari mulutnya kearah api yang berada diujung kayu sehingga memunculkan gumpalan api yang indah diudara menerangi kegelapan malam ditengah padatnya pohon pinus yang kelam, kegembiraan malam itu seakan menghilangkan semua yang telah menjadi rutinitas mereka untuk sejenak, para santri betul-betul menikmati suasana liburan itu yang hanaya satu kali mereka peroleh dalam satu tahun. Saat malam mulai menjemput, cahaya bulan sabit yang memang hanya sedikit menerangi mulai hilang, para santri satu persatu mulai meninggalkan api unggun dan menuju tenda untuk istirahat, Amin masih nampak asik berbincang dengan beberapa temannya, Posisi tenda yang memang berada pada tempat yang paling tinggi diantara kemah peserta lain membuat udara dingin terasa begitu menusuk, sepatu tinggi, kaos kaki tebal yang dipakai Amin belum dilepas namun udara dingin masih juga terasa menembus ketebalan sepatu dan kaos kaki yang dikenakannya. Demikian juga jaket tebal yang dipinjam Amin dari sahabatnya Mahdi juga hanya sedikit membantu mengatasi rasa dingin dan angin malam yang berhembus, ditengah canda tawa Amin dan beberapa sahabatnya mereka dikejutkan oleh ajakan salah seorang santri asal Bandung yang bernama Ismail, ditengah hawa dingin dan malam yang sudah begitu gelap Ismail mengajak beberapa santri untuk menemaninya mandi disungai yang mengalir dari air terjun, “Hey…Ismail…apa nggak salah malam begini ente mau mandi?..” Tanya Husnun Nadhir.. yang dari tadi bersama Amin duduk menghadap api ungun yang mulai mengecil.

” Ya…nggak Nun…ente mau ikut ..? balik Ismail bertanya

” Hayo…Min kita kekali…? Ajak Husnun…,

“Nggak…udara sedingin ini mau mandi?…”bisa malaria saya” ujar Amin sambil tersenyum.

Sambil membawa  senter Ismail ditemani Alwie, Thantowie dan Husnun menuruni jalan setapak menuju kali yang memang tidak terlalu jauh, karena gemericik air terjun masih terdengar jelas dari kemah mereka, apalagi ditengah malam, makin terdengar suara air yang jatuh dari ketinggian menghujam dan mengenai batu-batu besar di dasar kali. Amin masih terus berbincang dengan beberapa sahabatanya hingga tak lama kemudian mulai terdengar suara sekelompok orang mendekati mereka melalui jalan setapak yang  tadi dilalui beberapa santri. “Huuu….dingin sekali” ujar Ismail…. sambil meletakan perlengkapan mandinya didekat tenda, Amin memandang kearah rombongan kecil itu dan bertanya: ” bagaimana mandinya Wie…? “saya tidak mandi cuma nonton atraksi Ismail mandi di air es…” Jawab Alwie setengah bergurau, Husnun kembali duduk dekat Amin dengan tubuh yang seperti sedia kala dia pergi ke sungai” Lho ente tidak mandi Nun? …”Tanya Dedi..” santri asal jambi yang dari tadi duduk bersama Amin.  “” Ndak ana Cuma liat-liat to’ …” jawab Husnun dengan logat jawa timuran yang kental.

‘ “Thontowi mana?  tanya Amin pada Husnun

‘” Itu…masih dibawah…. ”  Jawab husnun sambil merapihkan tempat duduknya.

‘” Wie Ente nggak mandi?…

‘” Gendeng apa? ana mandi malam begini”  jawab Thontowi

‘ Kok.. tadi ikut kekali?  Tanya Dedi sambil tersenyum…

‘” Ana sebenarnya dari tadi sakit perut mau buang air, tapi tidak ada yang mau nemani ke kali…? Makanya waktu Ismail ngajak ke kali saya senang..” jelas Thontowi.

“Ismail itu punya amalan dari bang Jeje’ yang bekas satpam itu lho…”  Ucap Husnun

“Amalan apa?..Tanya Amin

“Amalannya harus mandi dikali yang airnya mengalir setiap tengah malam, selama empat puluh hari, habis mandi lansung baca wirid”. Terang  Husnun dengan mimik yang seirius. ” Oooo.. pantas saja ditengah malam buta dan dingin begini Ismail bela-belain mandi…”  ujar Amin sambil menunjukan wajah kebingungan.

“Mandinya itu tidak boleh terputus walau satu kali Nun?…Tanya Dedi

“Lha iya….Ded…”, kalau putus harus ngulang lagi dari nol….

“Kok susah banget amalannya….., kalau saya nggak mau ngejalani,” ucap Thontowi. “Ya namanya orang ,….masing-masing punya selera sendiri-sendiri” celetuk  fahmi, yang dari tadi hanya menjadi pendengar setia dan meramaikan dengan tawanya yang keras.

Bersambung……

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *