Asa Hilang Mimpi yang Terbuang 17.
Bangkit I
Ibu…
Buka Pangakuan mu
Buah hatimu datang
Pulang…..
Dengan air mata yang kini……
Kering…………..
Ibu….
Jangan Tanya…Kenapa hanya kulit yang membalut tulang
Ibu….
Usah kau renungi lagi cerit-cerita hatiku
Karena….
Beban menghantui kita
Ibu….
Tutup pintu hatimu dari janji-janji
Karena….
Manis madu terendam dalam Lumpur air tuba
Marilah bu…
Kita buka hati kecil kita
Agar kita bisa bercerita pada dunia
Bahwa kita masih ada
Bangil, 18 Desember 93
\\
Kalau Amin mengingat sosok ibunya yang selalu menasehati semua anak-anaknya dengan nasehat yang selalu mengajarkan kemandirian jangan selalu bergantung pada orang lain, bila naseha-nasehat itu terlintas Amin terkadang menangis, mengingat betapa beratnya perjuangan ibu nya. Sehingga tak jarang nasehat ibunya itu diatulis dalam bentuk puisi yang bisa mengggugah hatinya.
Bangkit II
Bangun nak…..
Hari menjelang siang
Jangan teruskan kantukmu
Burung-burung telah beterbangan mengejar rizki ilahai
Para pelayan telah berdiri menanti pembeli
Sekoci telah ditembatkan
Jangkar telah mengering
Anak kapal telah angkat bendera
Masihkah kau tunggu siang tiba
Bangun nak….
Cuci mata bathinmu
Tatap ibu dengan hati kecilmu
Lihatlah….tubuh yang renta ini
Yang telah usang dimakan sesal
Paginya telah hilang
Senjanya sudah memanggil
Bangun nak…
Keluarlah dari kamar lapuk ini
Jangan hilangkan pagimu
Tersenyumlah pada surya
Agar ia tahu
Bahwa kau masih ada
Dan tidak seperti aku
Yang dijemput malam dalam sesal
Bangil, 21 april 94
Pagi itu riuh suara para santri bermain sepak bola dilapangan samping area masjid, nampak Amin berlari-lari mengejar bola bersama teman-temannya, tak lama kemudian nampak Amin keluar dari lapangan sambil mengusap-usap kakinya.
“Kenapa Min…?” Tanya salah seorang temannya… “Kaki saya bengkak terkena tendang…” ujarnya sambil menahan sakit…, nampak biru sebesar uang logam dikaki kanan Amin.
Sambil menahan rasa sakit Amin berjalan menuju ruang Isolasi untuk meminta obat, sesampainya di tempat kesehatan santri Amin meminta balsem untuk mengobati bengkak yang dialaminya, terasa sedikit sakit saat Amin membalurkan balsem kearah kakinya yang bengkak namun ditahannya agar cepat sembuh. Hari berganti hari tapi bengkak dikaki Amin tidak sembuh juga bahkan biru kecoklatan makin melebar dari tempat semula terjadi benturan, akhirnya Amin pun memutuskan untuk pergi kedokter untuk memeriksakan apa yang dialaminya.
Setelah diperiksa dan didiagnosa secara teliti oleh dokter iapun disarankan untuk cepat dirawat dirumah sakit kalau sampai terlambat bisa di “AMPUTASI” Mendengar kata-kata amputasi Amin saat itu lansung menangis, terbayang olehnya apa yang terjadi bila memang kelak kakinya diamputasi….., Abdillah kakak kelas yang juga sebagai seorang petugas kesehatan pesantren yang saat itu mengantarkanya berusaha menenangkan Amin,…”…sabar dokter cuma bercanda… “….ucapnya … tapi bagi Amin kata-kata amputasi laksana petir disiang hari bolong yang tidak pernah ia bayangkan dan rasakan. Dengan menggunakan becak Amin dan Abdillah menuju Rumah Sakit Umum R. Sudarsono Bangil, setelah sampai diruang gawat darurat Amin terbaring diranjang sementara Abdillah sibuk mengurus surat-surat, terlintas kembali dibenak Amin kata-kata ibu dokter yang merekomandiskannya kerumah sakit,..”AMPUTASI” kata yang begitu modern namun mengandung makna yang begitu menyeramkan dan menakutkan bagi semua orang, bahklan terlintas dipikiran Amin…. “… kalua mati itu mungkin lebih baik dari pada harus kehilangan sebelah kaki…”.
Tiba-tiba Abdillah datang dengan membawa kursi roda …”Min kita pindah keruang perawatan….” Kata Abdillah.., ” bagaimana …? apa betul kaki saya mau diamputasi…?” Tanya Amin dengan muka yang begitu ketakutan…., “Sapa bilang mau diamputasi!!”. .bentak Abdillah dengan sorot mata yang begitu tajam,.. Amin masih bertanya-tanya dalam hati bagaimana sebenarnya kondisi kaki saya ini…? Tanya Amin dalam hati.
…AMPUTASI…. kata yang begitu modern
namun mengandung makna yang
begitu menyeramkan dan
menakutkan bagi semua orang.
bahkan terlintas dipikiran Amin….
“… kalau mati itu mungkin lebih baik
dari pada harus kehilangan sebelah kaki…”.
Bersambung….

