Fashion

ASA HILANG MIMPI TERBUANG 9…….

SENDIRI DIDALAM KERAMAIAN

            Setelah solat dzuhur berjama’ah Amin dikenalkan dengan siswa-siswa yang sesama asal Lampung, yang pertama terlintas dikepala Amin saat itu adalah kenapa teman-temannya ini yang beasal dari kota Bandar lampung berbeda dengan  bayangannya selama ini seperti saudara-saudaranya bila datang dari kota dengan kulit putih bersih tampan sehingga membuat kami yang dikampung selalu beranggapan bahwa orang kota itu pasti putih-putih, tapi ternyata tidak semua begitu karena teman-teman yang dihadapi saat ini tidak seperti yang ia dan mungkin sebagaian besar orang-orang dikamungnya duga

Seminggu sudah Amin berada didalam lingkungan pesantren dia mulai beradaptasi dengan peratuaran ketat pesantren, hidup diasrama yang semua penghuninya adalah laki-laki, mulai bangun setengah jam sebelum waktu sholat subuh tiba para santri sudah harus berada didalam masjid guna bersiap-siap mengikuti sholat subuh berjama’ah dan dilanjutkan membaca wirid setelah solat subuh, wirid dul haddad kami baca setiap hari, harus sepat cepat mandi sebelum jam setengah tujuh pagi karena waktu sarapan pagi sudah disiapkan kemudian jam tujuh pagi sudah harus meninggalkan asrama menuju ruang kelas keterlmabatan keluar dari asrama adalah bencana karena setiap santri ayang terlambat akan menadapatkan hukuman dari dewan pelajar semacam ketua OSIS kalau disekolah pada umumnya. Waktu belajar dimulai dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas siang hanya satu kali diseling istirahat, rutinitas seperti itu menjadi keseharian semua santri yang berada didalam lingkungan pesantren. Ketatnya peraturan telah membuat disiplin yang begitu tinggi kepada semua santri.

            Menginjak bulan kedua keberadaan Amin dipesanteren mulai timbul rasa rindu akan kampung halamannya, wajah emak yang begitu lembut dan penuh kasih sayang, kemanjaan Ifan adiknya yang masih begitu kecil harus menerima kenyataan ditinggal bak saat ia masih sangat haus akan kasih sanyang, sehingga sering kali Ifan menulis didinding kamar dengan tulisan “Ifan si putra bungsu” untuk menunmpahkan rasa rindunya pada baknya karena memang ia adalah anak yang mendapat perhatian lebih, karena pada umunya dalam adat orang Lampung anak tertua dan anak bungsu mendapat kasih sayang yang berbeda dengan yang lainnya. Teringat akan Saptian sahabat kentalnya yang telah benyak mengenalkannya pada hitamnya lumpur sawah, licinnya lindung kala ditangkap, mencari ikan ditengah kegelapan malam yang hanya diterangai oleh sorot lampu petromak, mengenalkannya pada semut hitam yang mengerumuni buah kopi yang mulai merah dan siap untuk dipanen, terkenang kembali Amin akan teman-teman sekolahnya di SMP Negri 2 Kedondong yang begitu baik dan baru satu tahun ia jalani.

Kala memory itu terlintas…., air mata tanpa terasa mengalir dipipinya ingin rasanya ia lari dari asrama yang begitu mengungkung kebebasannaya. Tapi saat perasaan itu melintas ia ingat akan pesan Uwaknya haji Mukhtar Daud  “apa pun yang terjadi jangan pernah lari dari pesantren! tahan saja walaupun berat karena itu pesan dan amanat bak mu sebelum meninggal… ” Pesan itu membuat Amin tetap bertahan.

Pernah saat menjelang maghrib tiba rasa rindu pada kampung halamannya begitu menggebu hingga ia menangis dihadapan ust. Mutjo’i yang sudah dianggapnya sebagai kakaknya sendiri, dengan penuh kesabaran ia dinasehati agar tetp bersabar karena itu adalah bagian dari perjuangan untuk menuntut ilmu apalagi ini ilmu agama ujarnya…!.tak jarang kala kerinduan itu datang Amin kembali menulis bait-bait puisi untuk mencurahkan kesedihan, rasa rindu serta keperihannya, pena pun diambilnya buku diary yang memang selalu menemaninya mulai ditulisnya:

MATAHARI TERTUTUP SELENDANG

Hujan kau datang padaku

Kemarin malam nan deras

Butir-butir mu menembus kalbu

Terasa perih memilu

Kawan ucap salam ataskan aku

Pada dia yang bukan tumpahan

Bukan pula harapan

Apalagi tuk menghiasi diri

Tapi apa jadi

Ku berharap baik

Rupanya duri yang menyandung hati

Menghujam kemudian menghujat

Sebutir pasir

Menjadi sebongkah batu karang

Setetes air

Menjadi ombak yang menghempas

Desiran sendu

Menjadi puting beliung

Porak-porandakan anjung

Pengikat persahabatan

Yang telah lama tertata

Baiklah… hai hujan

Ku terima duka dan malu ini

Akan kukubur wajah ini

Bersama hilangnya rintikmu

Bersama longsoran bumi

Agar aku tertimbun

Dan tak bangkit lagi

Kemudian menghilang

Bersama awan

Bersama angin

Bersama debu-debu pepohonan

Bersama daun-daun yang mongering

Bersama pucuk-pucuk yang telah layu

Bersama kebaikan yang terbuang

Dan bersama hati yang tertusuk dalam

Kuungkap semua

Dengan hati yang berlubang

Tiada lagi kehidupan dalamnaya

Tiada lagi asa yang akan datang

Tiada lagi kehormatan yang tertanam

tiada lagi buah hati yang tersimpan

lubang ku terlalu besar nan curam

Hingga hanya do’a yang tahu

Ku ungkap Nestapa

Dalam lubang yang longgar

Hingga tiada aling-aling

Tuk menahan masa depan penuh asa

Karena tiada lagi

Muka ini telah tiada

Hati ini juga telah pulang

Pada siapa ku bermohon

Tuk memberikan wajah agar ada

Hingga bisa menatap kedepan

Adakah hati yang merelakan untuk aku padaku

Agar asaku bisa bersemayam

Hingga aku bisa membangun

Mahligai harapan yang masih luas

Namun  semua itu tanda Tanya yang begitu besar,….

Ku tanyakan pada burung  diangkasa…

Tapi ia tak menjawab…

Ku tanyakan pada awan yang berarak..

Hanya diam kemudian berlalau dan berjalan

Ku tanyakan pada bunga ditaman

Ternyata ia menggeleng  bersama angin

Ku Tanyakan pada sepoi nan basah

Ia pun lari Kemudian mengering

Aku menangis

Aku Merintih

Aku Menggelepar

Kemudian berkata dan berlari

Kedalam hutan nan lebat , kelam dan menakutkan

Lolongan anjing liar menggema

Mengangkat bulu kuduk dan tengkukku

Bersama deru angina  malam

aku bersahabat dengan takut yang menyelimuti

Kemudian……….

Seekor kupu-kupu nan cantik

Hinggap di pundakku dan tersenyum

Ku ucapkan salam padanya

Ia mengangguk dan mengepak

Ku ajak ia bercerita

Tentang derita yang kualami

ku ceritakan padanya….

Bahwa hatiku telah berlubang

Bahwa asaku telah sirna

Patah diterpa badai

Wajahku telah hilang

Diinjak-injak kaki yang telanjang

Namaku dirobek dan dicampakkan

Ditong-tong yang basah tertimpa hujan

Kebaikanku dianggap tipuan

Bukan  ucapan teruimakasih yang mereka haturkan

Tapi prasangka yang mereka lontarkan

Kulihat kupu-kupu temanku bercerita…..

Ia menangis dan merunduk kemudian ia berkata:

‘Sahabat telah kering air mataku

Hatiku tak kuasa menahan deritamu

Yang telah kau ceritakan padaku

Ku mophon tuhan merahmatimu

Dan memberimu petunjuk

Dan memberimu yang lebih baik dari yang kau harapkan”

Lalu kupu-kupu temanku terjatuh

Dari bahuku yang telah lelah

Aku angkat kupu-kupu nan baik hati

Kuletakakn dipangkuanku

Kulihat air matanya  yang menetes

Lalu ia tersenyum dan mengepakkan sayapnya

Seakan mengucapkan salam perpisahan Padaku

Kemudian ku amati dan kuraba jantungnya

Ternyata dadanya telah penuh dengan darah

Tak kuasa menahan duka yang ku ceritakan kepadanya

Aku menjerit Kuat dan meraung oleh tangis

Hingga daun-daun berguguran

Pohon-pohon berguncang

Tanah seakan belah

Tak kuasa menahan Ratap, jerit serta raungan tangisku

Dalam gontaiku aku berjalan

Kugenggam erat sahabatku

Yang telah mendahuluiku

Yang telah pergi karena tak kuasa menahan duka sahabatnya

Lelah sudah aku berjalan

Hingga aku terduduk letih

Mataku terbuka tapi tak kulihat apa yang ada

Diantara hidup dan mati yang kuhadapi

Aku tulis diatas sehelai daun

Sebuah kata yang tak lagi ku ingat

Untuk Siapa ku berikan

“Selamat jalan Lupakan aku”

Setelah kutulis kata-kata itu tiba-tiba berdiri dihadapanku

Seekor singa dengan taring  yang tajam siap menelan

Diantara hidup dan matiku

Aku berkata padanya

Dengarkanlah ceritaku sejenak

Setelah itu apapun yang akan kau perbuat, pada Allah lah aku berharap

Ku ceritkan pada sela-sela taringnya

Yang sudah menering karena lapar

Bahwa aku :

Telah kehilangan sorot mata

Telah kehilangan Gembira

Telah dibuang masa depanku

Telah diinjak wajahku

Telah Dibakar namaku

Bersama debu dan arang

Dengan sekuat tenaga aku bertahan

Namun Aku tak mampu

Tuk meneruskan kata-kata

Hingga aku terjatuh…..

Tapi…

Masih ku dengar raungannya

Kemudian ia mengelepar-gelepar

Dan kucoba membuka mata

Dan kulihat didepanku

Ternyata pemilik rimba pun

Tak mampu menahan

Derita, derita dan derita

Seperti yang kuemban

Pada siapa aku berharap

Semua tempat ku bercerita

Tak mampu menahan dukanya

Kering sudah air mata

Basah sudah tubuh oleh keringat duka

Hingga akhirnya nyawaku permisi dari jasadku

Lalu terbang dan pulang bersama duka-duka ku

Yang dalam dan kelam

Selamt jalan duka

Semoga kau tak datang pada orang lain

Cukupkan aku yang menderita, jangan orang lain

Biarkan aku bercerita pada alamku sendiri

Bangil 16 Desember 94…………Bersambung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *