Fashion

Asa Hilang mimpi Terbuang 10…..

Hari berganti minggupun terlewati tiga bulan sudah Amin berada dipesantren tempat yang begitu jauh berbeda dari bayangannya sebelumnya, dalam pergaulan sehari hari dengan teman-temannya dari berbagai daerah telah membuka pikiran dan wawasan Amin terhadap berbagai macam suku yang ada di Indonesia, karena ia berteman dengan teman dari Jawa Tengah. Jawa Barat, Jawa Timur bahkan dari luar pulau Jawa seperti Sumatra , Kalimantan dan Sulawesi sampai ke Irian Jaya.

Teriknya matahri dimusim kemarau telah membuat retaknya sebagian tanah dipesantren kami namun Alhamdulillah walaupunn musim kemarau yang cukup panjang namun kami tak pernah kekurangan akan persediaan air, ada hal yang sangat menarik tentang air saat pertama kali Amin masuk pesantren ternyata kalu hendak minum lansung ambil ke kran air dan tanpa direbus lagi padahal kalau dalam kehidupan sehari-hari dikampungnya meminum air yang belum dimasak akan mengakibatkan sakit diare.

Mata pelajaran yang didapat Amin sehari hari sangat jauh berbeda dengan yang ia pelajari ketika masih dibangku sekolah menengah pertama dahulu, dipesantren tidak ada mata pelajarn umum hanya bahasa Indonesia dan matematika yang diajarkan, materi bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama adalah yang mereka pelajari setiap hari bahasa dalam pergaulan sehari-hari pun didominasi bahasa arab walaupun tak jarang bercampur dengan bahasa Jawa Timuran yang kental karena memang santrinya banyak dari Jawa Timur.    

            Pagi dihari jum’at suasan riang mulai terasa karena hari itu para santri diperbolehkan keluar asrama untuk berlibur sampai jam sepuluh pagi.

Amin dan seorang temannya memilih pergi keperkampungan disekitar peseantren karena  suasana pedesan yang begitu asri mengingatkannya akan kampung halamannya, desa Beji yang berbukit-bukit menambah keindahan dikala dipandang dari puncak, barisan pohon lontar yang didesa disebut pohon siwalan begitu indah sepintas seperti pohon kelapa seperti didesanya, rumpun bambu memagari area persawahan yang hijau nan luas dengan disielilingi pohon mangga yang buahnya menjuntai menambah asri suasana dipedesaan, begitu indah alam ciptaan Allah yang dianuggrahkan pada umat manusia agar mereka bisa hidup dan berketurunan untuk meggagungkan asma Allah.

Qs. “dan kuciptakan gunung-gunung……….

Diatas bongkah batu besar Amin duduk bersama sahabatnya Anwar santri yang berasal dari Jambi, pandangan mereka menerawang jauh kearah barat, nampak terlihat samara-samar kendaraan berlalau lalang  dari kota Bangil menuju Surabaya melewati kota Sidoarjo dan kota Porong, nampak pula dibawah  para petani menyebar pupuk disawah dengan harapan kelak mereka menuai panen yang melimpah guna menyambung kehidupan mereka. “Di Jambi orang tua saya juga petani Min”, ujar Anwar memecah kebisuan mereka didalam menikmati keindahan alam maha karya agung sang pencipta yang takkan terlukiskan oleh seniman besar apapun. Sambil memandang  kearah  sahabatanya itu Amin berkata, “orang tuaku juga petani, tapi petani yang setengah-setengah…,” apa maksud setengah-setengah Min?.. tanya Anwar sedikit keheranan..? “Iya orang tuaku memiliki sawah walau tidak begitu luas warisan dari datuk kami dikampung, namun yang mengurus bukan bapak saya tapi orang lain nanti hasilnya dibagi”, “kenapa begitu Min…? “yah karena bapak saya  juga seorang kepala desa dan juga memliliki beberapa ladang yang berisi tanaman kopi, kelapa, dan sedikit kebun cengkeh, bapak saya lebih sering berada dikebun yang tidak begitu jauh dengan kediaman  kami dan disitu juga ada kolam ikan yang jadi kegemaran bapak saya, setelah selesai sholat dzuhur biasanya bapak dengan sepedahnya menuju kekebun untuk sekedar melihat kebun dan yang paling disayanginya adalah kolam ikan yang dipenuhi dengan ikan mas. Biasanya kami juga ikut kalau hari minggu dan pulangnya  biasanya kami membawa kayu bakar dari pelepah kelapa yang sudah jatuh karena sudah kering.

            Tapi kami tidak sering kekebun karena bapak kami sering juga melarang anaknya bermain kekebun, kerena menurutnya tidak baik main dikebun untuk anak-anak kerena sekolah lebih diutamakan. Terkadang saat kami bermain degan teman-teman dikampung kekebun tanpa sepengetahuan ayah kami karena kami  takut dimarahi, pernah suatu hari saya pergi ke kebun teman untuk memetik buah kopi dan teman tersebut bilang “..Min itu kebun kalian kan…? ucapnya sambil bertanya….saya tidak bisa menjawab karena saya tidak pernah kekebun itu…hingga setelah ayah kami meninggal barulah kami tahu kalau itu adalah memang kebun kopi milik kami. ayah kami memang mengutamakan pendidikan buat anak-anaknya, bahkan untuk biaya pendidikan kami mendapat perhatian lebih, untuk transportasi kaka kami yang tertua untuk mencapai sekolahnya pada umumnya siswa lain mendapatkan biaya transportasi sebesar Rp. 500 kakak kami yang tertua mendapat seribu rupiah, kaka kami yang nomor dua sekolah di sekolah menengah pertama biaya transpotasinya dua ratus lima puluh rupiah disaat teman-teman sekolahnya hanaya diberi seratus rupiah oleh orang tua mereka. Bahkan ketika kakak kami yang tertua dengan emosi remaja yang sedang bergejolak menuntut dibelikan sepedah motor untuk sekolah dan ia tidak akan sekolah bila tidak dipenuhi akan berhenti sekolah…,dengan segala upaya ayah kami memebelikan sepeda motor agar dia tetap bersekolah karena ayah kami ingin anak-anaknya berpendidikan, bahkan saat saya menjelang ujian akhir dikelas enam sekolah dasar ayah pernah bilang kalau kamu juara kelas atau paling tidak hasil nilai evaluasi murnimu (NEM) bisa meloloskan kesekolah negri maka ayah akan belikan kamu sepedah agar kamu naik sepedah ke sekolah, dengan perasaan senang saya pun belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa mendapat juara namun saya hanya menjadi urutan kedua hanya berselisih koma dibawah juara satu, tapi saya tetap mendapat sekolah negri dan ayahpun bilang nanti kalu sudah ada rezeki ayah akan belikan sepedah, namun Allah berkehendak lain ayah kami meninggalkan kami untuk selamanya disaat aku duduk dikelas satu sekolah menegah pertama, “..itulah War sedikit cerita keluarga kami dikampung..” sambil memabdang kearah sawah yang terhampar luas Anwar berkata “semua itu harus kita ikhlaskan Min…kalau kita ikhlas insyaallah akan ada hikmah yang bisa kita petik”,… “Iya War…kami tidak pernah menyesali akan kehendak Allah tetang kepergiaan ayah kami yang tersa begitu cepat diusia ayah kami yang baru menginjak usai emas untuk seorang laki-laki yakni usia empat puluh lima tahun.”

Terik mulai menyengat membuat Amin dan sahabatnya Anwar mencoba berteduh di bawah pohon mangga yang begitu rindang dan besar, “jam berapa Min? Tanya anwar… “Baru jam setengah sembilan…kenapa war? tidak..hanya bertanya karena udara sudah terasa panas karena kita berada diatas bukit mungkin ya”? ujar Anwar “Iiya “.. Amin menjawab…. “jadi panas begitu cepat mengenai kita padahal waktu baru jam setengah sembilan.” pohon lontar sudah mulai bergoyang dihembus angina, demikian juga dengan rerimbunan pohon bambu mulai berderik ditiup angin, para petani pun sudah mulai nampak ramai ditengah sawah dan sebagian sedang berjalan dipematang sawah menuju gubuk kecil ditengah sawah tempat mereka meletakkan bekal makan siang dan juga peralatan pertanian mereka.

“Mari kita pulang keasrama Min nanti kita terlambat  kalau terlambat hari jum’at yang akan datang kita tak bisa keluar lagi kerena dihukum”. Ajak sahabatnya Anwar. Sambil berdiri Amin mengiyakan ajakan temannaya itu.

Dietenga-tengah jalan mereka berdua melihat pedagang manga sedang duduk dibawah pohon Amin mengajak sahabatnya Anwar untuk menawar buah mangga, setelah terjadi perbincangan  kecil mereka pun membeli lima buah mangga gadung mengkal yang nanti mereka makan bila telah sampai diasrama. Sepanjang jalan menuju asrama mereka sering berpapasan dengan para santri yang juga hendak membeli kebutuhan mereka diwarung disekitar kampung karena ada beberapa kebutuhan  yang mereka tidak dapatkan dikoperasi pesantren mereka. Nampak dari kejauhan pagar putih yang mengelilingi pesantren sudah mulai terlihat, terlintas dibenak Amin kalau mereka kembli akan “terpenjara” kembali untuk waktu seminggu kedepan karena mereka harus mematuhi peratuaran pesantren yang tidak memperbolehkan semua santri keluar selain hari jum’at kecuali ada keperluan yang memang mendesak itupun harus melalui prosedur izin kepada bapak asrma terlebih dahulu.

Dan gerbang besar pun  nampak didepan mata, saat kaki melangkah memasuki nya sudah terasa bahwa hari-hari penuh dengan aktivitas santri sudah mulai masuk kembali dalam sanubari setiap santri, rutinitas yang memang penuh dengan pengorbanan disaat usia sedang dalam masa perkembangan.

Tapi itulah pilihan  yang memang harus dijalani dengan tekun. Sesampai diasrama Amin dan Anwar berpisah karena memang mereka berlainan kamar sedangkan penghuni kamar satu dengan yang lainnya tidak boleh memasuki kamar penghuni yang lain karena itu dianggap melanggar peraturan.

Bersambung……

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *